Tidak bisa dipungkiri, daerah-daerah otonom masih bergantung
pada pemerintah pusat sehubungan dengan segala aspek pembangunan di daerah itu.
Begitu pun Desa yang belum bisa membangun dari sumber dan potensinya. Desa
masih bergantung pada pemerintah daerah.
Dalam UU Otonomi Daerah dan Desa sudah jelas memuat
batasan-batasan kewenagan dan pengelolaan pemerintahan pada masing-masing Sub
Otonominya. Namum kesan intervensi pemerintahan Pusat ke Daerah dan Daerah ke
Desa masih berjalan normal hampir di segala lini dalam konteks membangun.
Ibarat merdeka tapi masih di atas hitam dan putih.
Ada 2 (dua) kesanggupan yang perlu diupayakan untuk daerah
otonom. Yang pertama adalah mental pemerintahan baik Daerah kabupaten/kota
maupun Desa yang masih terpola dengan tingkah laku Sentralistik. Mungkin karena
semua pejabatnya adalah produk dari Era Pembangunan Sentralistrik, maka perlu
ada Rehabilitasi mental (Versi pa Jokowi, Reformasi Mental). Yang kedua adalah
ketidaksanggupan daerah dalam menjalankan UU Otonominya dengan bebagai
keterbatasan sehingga menjadikan daerah lemah dalam menterjemahkan UU Otonomi
secara kreatif dan berkembang dalam membangun dirinya.
Nah’’ ini adalah
masalah yang tidak perlu dianggap remeh karena hasilnya akan lebih buruk
ketimbang kita harus kembali lagi ke pola lama (pembangunan terpusat). Ibarat
hidup enggan mati tak mau maka kita akan semakin kerdil, kusut dan kering.
Bukan soal kekurangan APBD atau PAD tapi bagaimana seorang
ToP menejer (pimpinan daerah) tahu dari mana Dia harus memulai membangun dan
kapan Dia harus mangakhiri, sekaligus harus menjadi leadership yang cerdas
untuk memajukan daerahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar